SDM Kita Menuju Millenium Baru
Oleh : Audi R. Amir - mahasiswa Program Magister Theologi
Tak terasa semua manusia di dunia ini, akan tidak lama lagi berada pada era millenium baru atau yang lebih dikenal dengan sebutan abad 21. Sebelum berada di era tersebut saya dan Anda semua saat ini gencar mendengar orang-orang berbicara tentang seputar "Sumber Daya Manusia" (SDM). Namun dalam dimensi yang lain orang mengusahakan peningkatan sumber daya alam (SDA). Terlepas dari hal tersebut, dalam rangka menghadapi abad ke-21 nanti yang penuh persaingan persaingan dalam berbagai segi-segi kehidupan antarbangsa, dipandang perlu untuk meningkatkan kualitas SDM.
Dalam rangka ini pula, semua manusia
Selain Alvin Toffler yang berpendapat demikian, kita kita melihat pandangan yang begitu tajam jauh ke depan sekaligus sosiolog Amerika yang menulis buku yang berjudul "The Post-Industrial Society" sebut saja Daniel Bell, di mana ia berpendapat bahwa masa yang akan datang suatu masyarakat pasca-industri (post-industrial socity).
Terlepas dari persoalan tersebut, mungkin yang harus mendapat perhatian yang serius adalah apakah peningkatan kualitas SDM akan benar-benar menghasilkan generasi yang memiliki nilai profesionalitas yang tidak dapat diragukan? Atau sebaliknya nilai profsionalitas itu hanya untuk dijadikan sarana untuk suatu interes tertentu dari pihak ketiga. Misalkan dalam bidang bisnis, ekonomi, politik dan lain sebagainya? Saya dan Anda semua adalah makhluk yang selalu hidup dalam satu interaksi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dengan perkataan lain kita semua hidup dalam kebersamaan sebagai satu ciptaan.
Di Indonesia, kita sebenarnya menghadapi situasi dan kondisi yang historis dan objektif yang sangat berbeda dari situasi dan kondisi yang berlaku pada negara-negara di benua Barat. Walaupun dimensi agama dalam negara kita ini tidak dijadikan dasar falsafah negara, tetapi agama-agama atau substansi diakui oleh negara. Oleh sebab itu salah satu peran agama-agama di Indonesia adalah mengawasi dunia pendidikan agar tidak menghasilkan individualis-individualis seperti yang dialami negara dunia Barat yang hidupnya tidak seperti kita di
Terlepas benar atau tidaknya, saat ini ada fenomen bahwa manusia hanya dilihat sebagai "alat produksi". Sedangkan pembangunan karakteristik, rasanya tidak mendominasi terhadap tujuan peningktan kualitas SDM-nya atau dengan perkataan lain tidak menjadi isu sentral utama.Berhubung dengan hal tersebut, pengertian atau istilah SDM yang sementara kita bicarakan yang tidak mengenal batasan ruang dan waktu itu telah dikritik oleh Dr. Frans Magnis Suseno SJ, hal yang menjadi alasannya adalah bahwa ungkapan ini- SDM - sebagai ungkapan yang tidak berdimensi atau tidak mengandung hakikat harkat dan martabat manusia. Dalam dimensi yang lain, jika peningkatan kualitas SDM ini tetap hanya dipandang atau dilihat sebagai kerangka manusia seebagai al;at produksi dari pihak-pihak tertentu, maka dengan otomatis akan muncul manusia
Sedikit saya memberikan contoh tentang peengetahuan sebagau suatu cra "meempunyai", contohnya adalah ini. "Saya memiliki pengetahuan tentang budaya Minahasa dan Gorontalo". Contoh ini memperlihatkan bahwa subyek menguasai semua obyek-obyek di sekitarnya itu. Tesis ini bisa diteruskan bahwa pengetahuan mendapatkan bentuk paradigma baru : kekuasaan atas kesekitaran yang diketahuinya (lihat Yong Ohoitimur, Traktak, 1993 : 39). Sedangkan pengertian pengetahuan sebagai suatu cara "berada", adalah bahwa si subyek tidaklah menyita dan merampas obyek-obyek pengetahuan. Bahkan si subyek tidak ada rasa memiliki suatu tendensi untuk menggunakan obyek-obyek itu sebagai sarana kepentingannya itu, melinkan jauh daari pada itu subyek terbuka terhadap obyek-obyek yang ada di sekitarnya. Selain itu pul dalam keterbukaan itu sadar akan eksistensi dan kodrat mereka (band. Ibid), dengan perkataan lain bahwa pad hakikatnya suatu proses pengetahuan bertujuan untuk membuka serta memperluas cakrawala wawsannya untuk kepentingan semua dan bukan untuk kelompok tertentu.
Saya berharap dengan sedikit contoh di atas pembaca dapat memahami serta mengerti maksud dari kualitas pengetahuan sebagai suatu cara "berada" dan bukan sebagai suatu cara "mempunyai". Dengan demikian, apabila peningkatan SDM itu hanya berorintasi pada kualitas pengetahuan sebagai sutu cara "mempunyai:" konsekuensi padanya, itu adalah hal-hal yang tidak diharapkan. Sebagai contohnya, adalah bahwa subjek mampu berbuat apa saja sesuai kemauannya, seperti subjek mampu menciptakan berbagai kerusuhan. Hal ini disebabkan bahwa ia memiliki pengetahuan hanya untuk kepentingannya sendiri dan bukan untuk kepentingan banyak orang. Tetapi apabila peningkatan kualitas SDM itu hanya berorientasi pada peningkatan kualitas hakikat dan martabat manusia serta tidak memiliki tendensi untuk menjadikan manusia sebagai alat produksi belaka, maka otomatis nilai sosialisasi satu dengan yang lainnya tidak akan terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan pihak ketiga.
Selanjutnya, apabila kita telah mengerti bahwa peengetahuan sebagai suatu cara "berada", itu berarti bahwa kita sadar di mana pengetahuan yang kita miliki haruslah bersifat kualitatif dan bukan kuantitatif.
Selanjutnya pula, bahwa apabila pengetahuan itu bersifat kualitatif dengan sendirinya subjek dalam segala aktivitasnya akan menampakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Nilai keadilan dan kebenaran itu bukan sekadar memberikan apa yang menjadi keebutuhan primernya, melainkan keadilan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lainnya.
Berhubung dengan hal tersebut, apabila sidang pembaca mempelajari ajaran-ajaran agama Kristen di
www.smaiscin3art.co.cc